
Makassar, Mandalapos.co.id – Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Natalius Pigai, menyatakan dukungannya terhadap kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang berencana mengirim siswa yang sering terlibat tawuran ke barak militer guna pembinaan karakter, disiplin, dan tanggung jawab.
Menurut Natalius, kebijakan tersebut bukanlah bentuk pendidikan militer atau pelanggaran HAM, melainkan strategi untuk memperkuat nilai-nilai moral dan kedisiplinan siswa. Ia menekankan bahwa yang dimaksud adalah barak pendidikan, bukan barak tempur atau latihan fisik militer.
“Begini, bukan pendidikan militer. Siswa didik di barak, barak pendidikan. Artinya apa? Itu dalam rangka peningkatan yang pertama disiplin, kedua mental, ketiga tanggung jawab, dan keempat moral,” ujar Natalius saat berada di Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (13/5/2025) dilansir dari Antaranews.
Natalius menegaskan bahwa program tersebut tidak melibatkan kekerasan fisik sehingga tidak bisa disebut sebagai pelanggaran HAM.
“Saya sudah kroscek, Pak Gubernur sudah datang ke kantor. Saya tanya, ada fisik enggak? Dia bilang tidak ada,” tambahnya.
Ia menjelaskan, pelanggaran HAM dalam pendidikan biasanya merujuk pada praktik corporal punishment atau hukuman fisik seperti mencubit, memukul, atau menyakiti tubuh siswa, yang dalam program ini sama sekali tidak dilakukan.
“Itu corporal punishment, mungkin itu yang kami tidak setuju. Tapi saya sudah cek, Pak Dedi Mulyadi sudah sampaikan bahwa itu tidak ada. Lebih pada peningkatan satu kemampuan, keterampilan, dan produktivitasnya,” tegasnya.
Program Pembinaan untuk Perbaikan Moral dan Mental
Mantan Komisioner Komnas HAM ini menilai, tujuan utama dari program tersebut adalah pembentukan karakter, disiplin, dan tanggung jawab bagi siswa, bukan untuk menghukum. Oleh karena itu, menurutnya, keberadaan program tersebut justru mendukung perbaikan kualitas pendidikan.
Menanggapi sejumlah kritik yang menyebut kebijakan ini sebagai bentuk pelanggaran HAM dan bahkan telah dilaporkan ke Komnas HAM, Natalius menyayangkan adanya kesalahpahaman.
“Kalau mereka mengerti dengan Deklarasi Beijing atau Deklarasi Riyadh tentang juvenile justice system atau sistem peradilan anak, ini bukan peradilan anak,” tuturnya.
Ia pun mengajak semua pihak untuk melihat program ini sebagai bagian dari inovasi dalam dunia pendidikan, terutama untuk mengatasi persoalan kenakalan remaja yang kian marak dan mengganggu ketertiban umum. *
*Red