Kerja Tanpa Pamrih TP2D Natuna Hanya Narasi? SK Ungkap Beban Biaya Ditanggung APBD 2025

0
35

Natuna, mandalapos.co.id – Janji “kerja tanpa pamrih” yang menjadi slogan pembentukan Tim Percepatan Pembangunan Daerah (TP2D) Natuna kini mulai dipertanyakan. Tim yang dibentuk melalui Surat Keputusan (SK) Bupati Natuna pada awal Maret 2025 ini diklaim bekerja secara sukarela, tanpa honor, tanpa fasilitas, dan murni demi pengabdian kepada daerah.

Namun, narasi tersebut mulai goyah setelah salinan dokumen SK diterima awak media. Dalam salinan SK yang diperoleh Mandalapos, terdapat poin krusial yang menyebut, “Segala biaya yang timbul akibat ditetapkannya keputusan ini dibebankan kepada APBD Tahun Anggaran 2025.”

Frasa ini menjadi penanda penting yang menggugurkan klaim sebelumnya. Artinya, secara administratif, TP2D justru mendapatkan dukungan anggaran dari pemerintah daerah. Hal ini bertolak belakang dengan pernyataan Kepala Badan Perencanaan, Penelitian dan Pengembangan Daerah (BP3D) Natuna, Moestofa Al Bakri, yang menyatakan bahwa “ke-12 anggota tim ini bekerja untuk membantu bupati tanpa honor dan tanpa fasilitas dari pemerintah.”

Tim yang dikoordinatori oleh seseorang berinisial HC ini diduga menjalankan peran strategis. Mulai dari memberikan saran kebijakan, mengevaluasi pelaksanaan pembangunan, hingga menyusun arah pembangunan daerah. Dukungan penuh dari Bupati Natuna membuat posisi TP2D menjadi sangat sentral.

Namun, sikap tertutup sejumlah pejabat terkait dalam menjelaskan pembentukan dan pembiayaan tim ini justru memicu kecurigaan. Upaya wartawan untuk mendapatkan salinan SK secara resmi berakhir buntu. Beberapa pejabat enggan memberikan komentar ataupun tanggapan.

Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar, benarkah TP2D bekerja tanpa pamrih? Ataukah anggaran publik tetap digunakan melalui pos-pos yang tidak kasat mata?.

Minimnya transparansi dan lemahnya akuntabilitas dalam pembentukan TP2D membuka ruang spekulasi di tengah masyarakat. Padahal, dua hal tersebut merupakan fondasi utama dalam pengelolaan keuangan publik. Tanpa keterbukaan, publik berhak curiga bahwa narasi “pengabdian” yang digaungkan hanyalah pemanis dari agenda politik yang lebih besar.*

*Red

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini