Mandalapos.co.id – Tanggal 10 Agustus 2021 hari ini, bertepatan dengan tanggal 1 Muharram 1443 Hijriah atau Tahun Baru Islam, juga berbarengan dengan malam 1 Suro. Apa Perbedaannya?
Dalam tradisi Islam, tanggal 1 Muharram diperingati karena adanya peristiwa bersejarah, yakni awal ekspedisi hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makah ke Madinah.
Selain itu, tahun baru Islam juga memiliki makna mendalam dan spesial bagi umat muslim. Berikut tiga makna Tahun Baru Islam.
1. Hijrahnya Nabi Muhammad
1 Muharram juga diperingati sebagai pengingat peristiwa penting saat Nabi Muhammad SAW hijrah dari Mekkah ke Madinah yang kemudian melahirkan agama Islam. Peristiwa hijrah itu menjadi tonggak paling bersejarah dalam perkembangan agama Islam ke seluruh dunia, sehingga ditetapkan sebagai permulaan penanggalan tahun baru Islam.
Nabi Muhammad SAW memutuskan hijrah setelah memperoleh wahyu dan perintah dari Allah untuk menyebarkan ajaran Islam ke masyarakat.
2. Bentuk Perjuangan Nabi dan Para Sahabat
Tahun baru Islam juga dimaknai sebagai semangat perjuangan yang tak kenal lelah dan putus asa dalam menyebarkan agama Islam oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya.
Meskipun banyak tantangan dan rintangan, Nabi Muhammad SAW dan sahabat tak pernah menyerah atau pesimis. Bahkan Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah meninggalkan tempat kelahirannya, saudara, dan harta bendanya hanya agar bisa memenuhi perintah dan wahyu yang diberikan Allah SWT.
3. Intropeksi diri
Pergantian tahun baru Islam juga dimaknai sebagai momen untuk intropeksi diri atau muhasabah.
Malam 1 Suro
Sementara itu, dalam tradisi Jawa, tanggal 1 Muharram disebut sebagai Malam 1 Suro. Jika dalam budaya Islam tanggal tersebut merupakan hari suci karena sebagai penanda resolusi kalender Islam, dalam tradisi Jawa justru dianggap sakral dan mistis.
1 Muharram dan Malam 1 Suro bisa dibilang sama. Yang membedakan keduanya hanyalah dalam hal penyebutan dan tradisi yang mengiringinya. Jika 1 Muharram adalah penanda tahun baru hijriah, 1 Suro adalah tradisi serupa dalam budaya Jawa.
Sebagaimana dicatat Muhammad Solikhin dalam buku Misteri Bulan Suro: Perspektif Islam Jawa (2010), kata “Suro” sendiri berasal dari bahasa Arab “Asyura” yang artinya sepuluh. Yang dimaksud dengan Asyura adalah hari ke sepuluh pada bulan Muharram.
Sementara dalam hal tradisi, jika dalam Islam malam 1 Muharram dimaknai dengan penuh kesucian, budaya Jawa justru sebaliknya. Malam 1 Suro dimaknai sebagai malam sakral, penuh mistis. Sehingga dalam menyambutnya, berbagai upacara-upacara peringatan penuh klenik dilakukan.
Malam 1 Suro dimaknai sebagai malam mistis tak terlepas dari beberapa faktor yang melatarbelakanginya. Muhammad Solikhin, misalnya, berpandangan, faktor terpenting yang menyebabkan bulan Suro dianggap sakral adalah budaya keraton. Ia menulis, keraton sering mengadakan upacara dan ritual untuk peringatan hari-hari penting tertentu, salah satunya peringatan Malam 1 Suro.
Peringatan ini pada akhirnya terus diwariskan dan dilanjutkan dari generasi ke generasi. Lebih lanjut, terkait mengapa Malam 1 Suro dimaknai secara mistis, pengajar Sastra Jawa di Universitas Indonesia Prapto Yuwono menjelaskan, hal ini adalah imbas dari politik kebudayaan dari Sultan Agung dari Kerajaan Mataram Pada kurun 1628-1629.
Kala itu, Mataram mengalami kekalahan dalam penyerbuannya ke Batavia, yang akhirnya membuat Sultan Agung melakukan evaluasi. Setelah penyerbuan itu pula, pasukan Mataram yang menyerang Batavia telah terbagi ke dalam pelbagai keyakinan seiring semakin masifnya Islam di tanah Jawa.
Kondisi tersebut akhirnya membuat pasukan Mataram tidak solid. Kemudian, untuk merangkul semua golongan yang terbelah, Sultan Agung menciptakan kalender Jawa-Islam dengan pembauran kalender Saka dari Hindu dan kalender Hijriah dari Islam.
Kesakralan Malam 1 Suro juga juga tak terlepas dari komposisi sosiologis masyarakat Jawa yang masih sangat bersifat paganistik Hindu. Bahkan, nuansa animisme dan dinamisme masih terlihat sangat kental. Hal tersebut terlihat dengan adanya berbagai macam sesaji yang digunakan dalam pelaksanaan prosesi peringatan.
Terlepas dari hal-hal mistisnya, bulan Suro sebagai awal tahun Jawa diyakini sebagai bulan yang sakral atau suci. Ini adalah bulan yang tepat untuk merenung, tafakur, dan introspeksi untuk mendekatkan dengan Yang Maha Kuasa. Cara yang biasa digunakan masyarakat Jawa untuk berintrospeksi adalah dengan lelaku, yaitu mengendalikan hawa nafsu.
Selain itu, kegiatan seperti lek-lekan atau tidak tidur semalaman, tudurani (perenungan diri sambil berdoa), tirakatan hingga selamatan dengan menyajikan aneka sesaji juga akan dilakukan.
Editor : Alfian