
Natuna, mandalapos.co.id – Di antara hamparan ladang cabai yang mulai menghijau di Desa Harapan Jaya, Kabupaten Natuna, Sabtu (16/11/2025). Wawan Darmawan (55) terlihat tengah berteduh di bawah pohon sembari mengusap keringat yang mengalir deras di wajahnya. Kaos lusuhnya juga basah, bukan karena hujan, tetapi oleh kerja keras yang tak pernah berhenti meski usia tak lagi muda.
Tak jauh darinya, sang istri, Nining (43), menggelar tikar kecil. Dari dalam tas kain yang dibawa dari rumah, ia mengeluarkan bekal makan siang sederhana. Kehidupan pasangan petani ini terlihat tenang, namun gurat lelah tak bisa sepenuhnya disembunyikan.
“Pak, Rista minta uang buat ngerjain tugas kuliahnya,” ujar Nining pelan sambil menyendok nasi untuk sang suami.
Wawan terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Iya. Besok cabainya kita jual aja buat kirim ke Rista.”
Rista, anak ketiga mereka, sedang menempuh pendidikan di Universitas ESA Unggul, Jakarta. Bagi Wawan, ladang cabai ini bukan sekedar tempat bekerja. Di sinilah harapan itu tumbuh, agar anaknya bisa melangkah lebih jauh dari kehidupan yang ia jalani hari ini.
Untuk mengantisipasi kebutuhan yang kerap datang tiba-tiba, Wawan menanam cabai secara bergiliran. Ia mengatur waktu tanam agar hasil panen selalu tersedia. Cabai-cabai itulah yang kerap menjadi penopang ketika biaya kuliah datang tanpa aba-aba.
Empat belas tahun lalu, tepatnya pada 2011, Wawan memboyong keluarganya dari tanah Pasundan, Jawa Barat, menuju Pulau Natuna. Ia meminjam sebidang tanah milik warga Desa Harapan Jaya untuk bertani. Namun, kehidupan di pulau terluar ini segera mengajarkannya bahwa bertani di Natuna tak semudah di kampung halamannya.
Tanah Natuna yang lebih dikenal karena kekayaan minyak dan gas bumi, memiliki tingkat keasaman tinggi dan jauh dari kata subur. Harga pupuk, obat pertanian, hingga peralatan tani pun lebih mahal. Pada bulan-bulan tertentu, terutama saat angin utara bertiup antara November hingga Februari, pupuk bahkan bisa sulit didapat karena kapal barang kerap tak berlayar.
Kondisi itu bukan hanya persoalan petani. Bagi Natuna, wilayah yang strategis secara geopolitik, ketergantungan pada pasokan pangan dari luar daerah menjadi kerentanan serius. Sayur-mayur dan bahan pangan sehari-hari masih banyak didatangkan dari luar pulau.
Dalam skenario terburuk, jika konflik di Laut China Selatan pecah dan memutus jalur pelayaran, warga Natuna bisa terjebak dalam krisis pangan.
Di tengah kerentanan itulah, kehadiran negara mulai terasa lebih nyata. Program pupuk bersubsidi menjadi salah satu pintu masuk perubahan di beranda terdepan Indonesia ini.

Bagi Wawan dan ribuan Petani Natuna lainnya, pupuk bersubsidi bukan sekedar bantuan, melainkan kepastian. Kepastian bahwa mereka bisa terus menanam, memanen, dan menggantungkan hidup dari tanah yang dulu terasa asing.
“Sekarang kami terbantu dengan pupuk subsidi dari pemerintah. Jadi makin banyak juga yang berani bertani,” kata Wawan.
Perlahan, perubahan itu tampak di pasar-pasar Natuna. Jika dahulu sayur-mayur harus didatangkan dari luar daerah melalui kapal laut atau pesawat, kini hasil pertanian lokal mulai memenuhi kebutuhan masyarakat.
“Sekarang sayuran lokal juga sudah melimpah,” ujarnya.
Empat tahun terakhir menjadi masa yang paling Wawan rasakan manfaatnya. Terlebih ketika harga pupuk bersubsidi yang disalurkan PT Pupuk Indonesia (PTPI) turun sekitar 20 persen. Harga pupuk Urea turun dari Rp2.250 menjadi Rp1.800 per kilogram. NPK dari Rp2.300 menjadi Rp1.840 per kilogram. Pupuk organik pun ikut turun, dari Rp800 menjadi Rp640 per kilogram.
“Bagi petani seperti kami sangat terasa. Apalagi sekarang kuota yang diajukan juga dipenuhi,” kata Wawan.
Cerita dari ladang itu sejalan dengan data pemerintah daerah. Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Kabupaten Natuna, Wan Syazali, mencatat peningkatan produksi pertanian yang konsisten. Produksi tanaman pangan naik dari 1.158 ton pada 2023 menjadi 1.231 ton pada 2025. Sementara produksi hortikultura melonjak tajam, dari 470 ton menjadi 1.183 ton dalam periode yang sama.
Menurut Wan Syazali, capaian tersebut tidak datang begitu saja. Penguatan pelayanan dan pengawalan distribusi pupuk bersubsidi menjadi kunci, terlebih di Natuna yang hingga kini belum memiliki kios pupuk resmi seperti daerah lain.
“Kami berinisiatif membantu PTPI menyalurkan pupuk langsung sampai ke kecamatan terluar. Kami tidak ingin petani dirugikan hanya karena harus menunggu kios,” ujarnya ketika ditemui mandalapos, Selasa, 18 November 2025 di kantornya.
Pada 2025, Kabupaten Natuna menerima alokasi 50 ton pupuk Urea dan 226 ton NPK Phonska terbanyak kedua di Provinsi Kepulauan Riau setelah Kabupaten Bintan. Pemerintah daerah juga menambah dukungan melalui APBD dengan menyalurkan 36 ton pupuk NPK dan 44,05 ton kapur dolomit untuk memperbaiki kualitas lahan pertanian.

Upaya kolektif ini mendapat apresiasi dari PT Pupuk Indonesia. Perwakilan PT Pupuk Indonesia cabang Pekanbaru, Vandika Dwi Reganata, menyebut Natuna sebagai salah satu daerah dengan penyaluran pupuk bersubsidi paling tertib dan lancar di Kepulauan Riau.
“Secara penyaluran, Natuna sangat baik. Ini menunjukkan kolaborasi yang kuat antara pemerintah daerah dan PTPI sebagai penyalur,” ujar Vandika saat menghadiri penyaluran secara simbolis pupuk bersubsidi di Natuna, 3 November 2025.
Di Natuna, penguatan industri pupuk tidak berhenti pada produksi di pabrik atau angka alokasi di atas kertas. Ia menjelma menjadi pelayanan yang hadir hingga ke pulau-pulau terluar, serta pengawalan yang memastikan pupuk benar-benar sampai ke tangan petani. Melalui kolaborasi antara PT Pupuk Indonesia, pemerintah daerah, dan petani, pupuk menjadi simpul penting yang menghubungkan kebijakan negara dengan kenyataan di ladang. Dari tanah yang dulu dianggap marginal, pertanian Natuna perlahan tumbuh sebagai bagian dari ikhtiar besar membangun pangan yang berdaulat.*
*Penulis: ALFIANA




















