
Natuna, mandalapos.co.id – “Aaa ini dia, kapal perang China, nomor lambung 172!”
Suara nelayan Natuna itu terdengar gemetar dalam sebuah video amatir.
“China Coast Guard!” sahut temannya.
“Bukan, ini kapal perang!” sanggah si perekam sambil menstabilkan kameranya di atas pompong kayu kecil yang terombang-ambing di tengah Laut Natuna Utara.
Cuplikan video itu diperlihatkan oleh Bujang, seorang nelayan dari Pulau Laut, ketika ditemui di Ranai pada Rabu, 22 Oktober 2025. Dengan wajah tenang namun mata yang menyiratkan banyak cerita, ia berkata bahwa video itu sempat viral beberapa tahun lalu. Ironisnya, rekaman itu bukan sekadar kebetulan, melainkan potret nyata kehidupan nelayan Natuna di garis depan batas negara.
Bagi nelayan seperti Bujang, pemandangan kapal asing melintas di perairan Natuna bukan sesuatu yang luar biasa. Kadang mereka melihat dari dekat, kadang hanya muncul di radar. Namun bagi mereka, laut itu milik Indonesia.
Nelayan Natuna adalah nelayan tradisional. Mereka sangat menggantungkan hidup dari hasil laut. Nyali mereka sudah teruji di Laut Natuna Utara yang terkenal ganas, tempat angin bisa berubah dalam hitungan menit dan gelombang tinggi datang tanpa aba-aba. Di atas kapal kayu kecil bermesin tua, mereka ibarat prajurit tanpa seragam yang menjaga garis terdepan negara. Tidak ada pangkat, tidak ada gaji, hanya semangat untuk bertahan hidup.
Namun, keberanian itu tidak selalu sekuat gelombang yang mereka hadapi. Di balik semangat melaut, tersembunyi persoalan sederhana namun sangat menentukan, yaitu bahan bakar minyak.
Bagi nelayan kecil, solar bukan sekedar komoditas, tapi nadi kehidupan. Tanpa solar, mesin tak menyala, kapal tak bergerak, dan dapur tak berasap.
“Kami ini kalau solar habis, ya berhenti. Mau ke laut pun tak bisa. Semua berhenti,” kata Bujang lirih.
Sebelum hadirnya program BBM Satu Harga, solar di Pulau Laut atau pulau-pulau kecil Natuna bisa jauh lebih mahal dibanding di daratan besar. Agen BBM di Kecamatan Pulau Laut harus mengambil stok dari Pulau Sedanau, Kecamatan Bunguran Barat, menempuh perjalanan laut yang panjang, menambah ongkos transportasi, dan membuat harga di tangan nelayan melambung.
Kadang stok habis selama berhari-hari, membuat nelayan terpaksa menambatkan perahu di tepi pantai menunggu solar datang. Akibatnya, banyak nelayan memilih tidak melaut jauh. Laut Natuna Utara yang seharusnya dipenuhi perahu Indonesia, akhirnya justru lebih ramai oleh kapal asing. Sebuah ironi di tengah kekayaan laut sendiri.
Kini keadaan itu berubah. Melalui SPBU Nelayan di Desa Air Payang, Kecamatan Pulau Laut kini resmi menikmati BBM Satu Harga. Solar untuk nelayan tersedia, terjangkau, dan mudah diakses. Perubahan ini bukan hanya soal harga, tetapi tentang bukti bahwa negara hadir hingga ke pulau-pulau terluar, memberi daya dan harapan baru bagi rakyatnya.
Herman, Kepala Desa Kadur – Pulau Laut, menyebut perubahan itu membawa napas baru bagi warganya. Menurutnya, ketersediaan bahan bakar dengan harga sama seperti di daerah lain membuat nelayan lebih bersemangat melaut dan ekonomi desa perlahan tumbuh kembali.
“Kadur nelayan kita ada 74, dari 74 jumlah pompong 35 itu pakai solar. Sebelum ada kebijakan BBM Satu Harga, harganya mahal karena sub agen ambil dari Sedanau. Sekarang sudah satu harga, tentu masyarakat bersyukur,” ujar Herman, Selasa, 21 Oktober 2025.
“Sejak ada SPBU nelayan di Air Payang, sejauh ini tak ada hambatan untuk solar. Dampaknya besar, ongkos melaut berkurang, hasil tangkapan pun meningkat,” tambahnya.
Ia juga menekankan bahwa kehadiran BBM Satu Harga tidak hanya memudahkan nelayan mendapatkan bahan bakar, tetapi juga menggerakkan perekonomian lokal.
“Sekarang aktivitas ekonomi di desa mulai ramai lagi karena nelayan punya penghasilan lebih stabil. Penjual es batu dan warung-warung yang jual perbekalan semua ikut merasakan dampaknya. Roda ekonomi berputar dari laut sampai ke darat,” ujarnya.

Laut Natuna Utara bukan hanya perbatasan, tapi juga bagian dari lumbung energi nasional. Dari perut bumi di bawah laut dalamnya, minyak dan gas diekstraksi oleh berbagai perusahaan energi. Kini, lewat program BBM Satu Harga, sebagian energi itu seolah “pulang” kembali untuk masyarakat Natuna sendiri.
Kepala Departemen Formalitas dan Komunikasi SKK Migas Perwakilan Sumbagut, Yanin Kholison, mengatakan Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) menempati posisi strategis sebagai wilayah dengan potensi cadangan migas yang sangat besar di Indonesia. Beberapa lapangan migas di Kepri, khususnya di wilayah kerja Natuna, telah berkontribusi nyata terhadap pasokan energi nasional.
“Produksi minyak dan gas dari blok-blok aktif di kawasan ini menambah suplai energi baik untuk kebutuhan domestik maupun ekspor regional. Selain menjaga kestabilan pasokan energi nasional, kegiatan produksi di wilayah ini juga mendorong pertumbuhan investasi dan kegiatan ekonomi di daerah, serta peran penting dalam mendukung ketahanan dan kemandirian energi nasional,” terang Yanin.
Dirincikan Yanin, Medco E&P Natuna Ltd. yang mengelola Blok South Natuna Sea Block B tercatat sebagai produsen terbesar, dengan target produksi minyak tahun 2025 mencapai sekitar 19.737 barel per hari (BOPD) dan produksi gas sekitar 141,38 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD).
Selanjutnya, Premier Oil Natuna Sea BV (Harbour Energy) melalui Blok Natuna Sea Block A menargetkan produksi minyak sebesar 961 barel per hari, dengan tambahan produksi gas mencapai 71,99 MMSCFD. Sementara itu, Star Energy (Kakap) Ltd. yang mengelola Blok Kakap mencatat produksi minyak sebesar 988 barel per hari dan gas sebesar 10,53 MMSCFD.
“Secara keseluruhan, total produksi minyak dari wilayah kerja aktif di Kepri tahun 2025 menunjukkan kontribusi yang stabil terhadap nasional,” ucapnya bangga.
Dari angka-angka itu, Natuna bukan hanya penghasil energi, tapi juga penjaga napas panjang swasembada energi Indonesia. Dan kini, lewat BBM Satu Harga, energi itu kembali hadir dalam bentuk yang paling nyata, murahnya solar di dermaga nelayan, nyalanya mesin pompong di pagi hari, dan tawa anak-anak nelayan yang menanti hasil laut dari ayahnya.*
*Penulis: ALFIANA




















