
Natuna, mandalapos.co.id – Tuhan menyisipkan sepetak daratan di ujung pagar Nusantara bernama Natuna, gugusan pulau kecil yang berdiri tegar di tengah Laut Cina Selatan. Di sinilah Indonesia menatap dunia, menjaga batas utara di Selat Karimata, berbagi garis laut dengan negara-negara Asia Tenggara.
Bagi masyarakat Natuna, laut bukan sekadar hamparan air asin. Di atas laut ini, nelayan mencari penghidupan, sementara di bawahnya mengalir minyak dan gas bumi yang menjadi incaran banyak pihak.
“Saudara-saudara adalah pahlawan-pahlawan bangsa di bidang energi. Saudara mengangkat kapasitas bangsa, saudara mempertahankan harkat dan wibawa bangsa Indonesia,” ujar Presiden Prabowo Subianto saat meresmikan produksi perdana Lapangan Minyak Forel dan Terubuk yang berada di Kepulauan Natuna, pada Jumat, 16 Mei 2025 lalu.
Bagi para pekerja di lapangan, kalimat itu bukan sekedar pujian, melainkan pengakuan atas kerja keras mereka yang jauh dari sorotan.
Bagi Presiden Prabowo, produksi perdana dua lapangan itu menjadi tonggak penting dalam perjalanan Indonesia menuju swasembada energi. Ia menegaskan, kemandirian energi adalah syarat mutlak bagi kekuatan bangsa.
Namun di sisi lain, industri hulu migas adalah sektor yang menuntut investasi besar, konsekuensi tinggi, serta keberanian luar biasa untuk menembus batas teknologi dan alam.
Laut Natuna Utara menjadi saksi kerasnya perjuangan itu. Wilayah ini adalah salah satu lumbung migas nasional yang kompleksitasnya tak main-main. Ombaknya ganas, lautnya dalam, dan kadar CO₂ yang tinggi menuntut kecermatan dan teknologi tinggi.
“Pengembangan lapangan laut dalam di Kepulauan Riau memiliki tantangan teknis yang lebih kompleks dibanding wilayah darat atau laut dangkal,” ujar Yanin Kholison, Kepala Departemen Formalitas dan Komunikasi SKK Migas Sumbagut, Rabu, 22 Oktober 2025.
Menurut Yanin, investasi untuk pengembangan lapangan laut dalam di Natuna jauh lebih besar dibandingkan wilayah lain, dengan waktu pengembangan yang juga lebih panjang.
“Faktor keekonomian proyek sering kali dipengaruhi oleh harga energi global, ketersediaan infrastruktur, serta kebijakan fiskal. Tapi dengan dukungan kebijakan pemerintah yang adaptif dan penerapan teknologi subsea system serta CO₂ handling, potensi laut dalam Natuna tetap menjanjikan dalam jangka panjang,” jelasnya.
Yanin menambahkan, beberapa lapangan migas di Kepulauan Riau, khususnya di wilayah kerja Natuna, telah berkontribusi nyata terhadap pasokan energi nasional. Produksi minyak dan gas dari blok-blok aktif di kawasan ini menambah suplai energi, baik untuk kebutuhan domestik maupun ekspor regional.
“Selain menjaga kestabilan pasokan energi nasional, kegiatan produksi di wilayah ini juga mendorong investasi dan pertumbuhan ekonomi daerah, sekaligus memperkuat ketahanan energi nasional,” katanya.
Ia menyebutkan, saat ini terdapat tiga kontraktor utama yang beroperasi di wilayah Kepulauan Riau, yakni Premier Oil dengan produksi 772 barel per hari, Star Energy Ltd dengan 1.088 barel per hari, dan Medco E&P Natuna dengan 13.218 barel per hari. Adapun produksi gas tercatat sebesar 10,39 juta kaki kubik per hari dari Star Energy, 82,46 juta kaki kubik per hari dari Premier Oil, dan 153,56 juta kaki kubik per hari dari Medco E&P Natuna.
Dari sisi investasi, lanjut Yanin, wilayah Kepulauan Riau mencatat pertumbuhan yang stabil. Nilai investasi mencapai 469 ribu dolar AS pada tahun 2020 dan meningkat hingga 870 ribu dolar AS pada tahun 2024, dengan total 3,32 juta dolar AS selama lima tahun terakhir.
Ia menegaskan bahwa kontribusi dua belas KKKS yang beroperasi di bawah koordinasi SKK Migas Sumbagut melampaui sekedar operasional migas. Melalui berbagai program pengembangan masyarakat yang terarah dan berkelanjutan, mereka ikut memperkuat ekonomi lokal, meningkatkan pendidikan, menjaga lingkungan, dan memperluas kesejahteraan sosial masyarakat di Kepulauan Riau, khususnya di Natuna dan Anambas.
“Kegiatan industri migas di sini tidak hanya menjaga produksi energi, tapi juga menghidupkan daerah,” katanya menutup.
Tantangan di Laut Natuna bukan hanya berasal dari alam. Di garis batas itu pula, kepentingan politik dan ekonomi global saling beririsan. Kapal-kapal asing kerap muncul di perairan yang masuk dalam peta klaim sepihak Tiongkok melalui nine-dash line. Meski Indonesia tak pernah mengakui klaim itu, kehadiran mereka kerap menimbulkan gesekan. Maka, setiap rig yang berdiri di perairan Natuna sejatinya bukan hanya fasilitas industri, melainkan simbol kedaulatan negara.
Namun energi bukan hanya urusan laut dalam dan sumur gas. Ia juga soal kehidupan di kampung-kampung kecil yang mengandalkan laut untuk bertahan hidup. Di Natuna, dampak industri hulu migas terasa lewat berbagai program pengembangan masyarakat yang dijalankan para kontraktor.
Lebih dari itu, geliat pembangunan Natuna sebagai daerah penghasil terus bertumbuh berkat kontribusi Dana Bagi Hasil (DBH) Migas. Jalan-jalan di pedesaan semakin mulus, gedung sekolah berdiri layak, hingga akses kesehatan yang makin mudah dijangkau warga.
Kepala Badan Keuangan dan Pendapatan Daerah Natuna, Suryanto, mengatakan bahwa penerimaan dari DBH Migas diarahkan untuk memperkuat layanan dasar seperti pendidikan, air bersih, dan transportasi antar-pulau.
“Dengan alokasi yang tepat, kita bisa mengatasi kelemahan geografis Natuna yang kepulauan, sekaligus mempercepat kesejahteraan masyarakat,” ujarnya.
Ia menambahkan, bagi wilayah perbatasan seperti Natuna, DBH bukan sekedar alat fiskal, tetapi juga pengikat integrasi nasional.
“Dana itu memperkuat kehadiran negara. Ia menjadi modal penting bagi fungsi wilayah terluar, kedaulatan, pertahanan, keamanan, serta peningkatan konektivitas dan fasilitas batas negara,” katanya.
Bagi Natuna, kehadiran negara juga tak hanya diukur dari gelontoran DBH, tetapi dari kebijakan energi yang bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Salah satu bentuk nyata dari pemerataan energi itu tampak melalui kebijakan BBM Satu Harga. Di Desa Kadur, Kecamatan Pulau Laut, nelayan kini bisa menikmati solar dengan harga yang sama seperti di Jawa.
“Kadur nelayan kita ada 74 orang. Sebelum ada kebijakan BBM Satu Harga, harganya mahal karena subagen ambil lewat Sedanau. Sekarang sudah satu harga, jadi lebih murah sedikit. Masyarakat bersyukur,” tutur Kepala Desa Kadur, Herman, ditemui di Ranai, Selasa, 21Oktober 2025.
Bagi nelayan di ujung negeri, program BBM Satu Harga bukan hanya soal harga solar, tapi tentang keadilan yang juga dirasakan oleh mereka yang berada di pulau-pulau terjauh dari ibu kota negara.
Natuna hari ini bukan lagi area yang tertinggal dalam peta migas nasional. Dengan proyek onstream yang makin banyak, target produksi yang meningkat, penerimaan daerah yang turut tumbuh, dan masyarakat yang mulai merasakan manfaatnya, Natuna sedang berada di garis depan energi nasional.
Tetapi, garis depan bukan berarti sendirian, butuh dukungan dari pusat, perusahaan, masyarakat, dan regulasi yang adil dan konsisten.*
*Penulis: ALFIANA




















