
Natuna, mandalapos.co.id – “Saudara-saudara adalah pahlawan-pahlawan bangsa di bidang energi. Saudara mengangkat kapasitas bangsa, saudara mempertahankan harkat dan wibawa bangsa Indonesia.”
Suara Presiden Prabowo Subianto bergema dari Istana Negara, menembus layar dan jarak ribuan kilometer, menuju Laut Natuna di ujung utara negeri. Kalimat itu menandai peresmian produksi perdana dua lapangan migas strategis yakni Forel dan Terubuk, pada 16 Mei 2025 lalu.
Dua lapangan di bawah pengelolaan Medco E&P Natuna Ltd. di wilayah kerja South Natuna Sea Block B itu, menambah pasokan energi nasional sebesar 20 ribu barel minyak per hari dan 60 juta standar kaki kubik gas per hari, atau setara 30 ribu BOEPD. Nilai investasinya mencapai USD 600 juta, membuka peluang kerja bagi sekitar 2.300 orang selama masa konstruksi.
Di tengah dinamika global dan transisi energi, Natuna tetap menunjukkan bahwa sumber daya alamnya adalah penopang penting bagi ketahanan energi nasional.
“Kawasan Natuna merupakan salah satu kantong gas terbesar di Indonesia, dan menjadi fokus pengembangan lapangan gas lepas pantai yang mendukung kebutuhan domestik maupun ekspor regional,” ungkap Yanin Kholison, Kepala Departemen Formalitas dan Komunikasi SKK Migas Sumbagut, dalam keterangannya, Rabu, 22 Oktober 2025.
Di wilayah Kepulauan Riau, ada 12 Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang beroperasi. Dari yang sudah produksi seperti Medco E&P Natuna Ltd., Premier Oil Natuna Sea B.V. (Harbour Energy), dan Star Energy (Kakap) Ltd., hingga yang masih tahap eksplorasi seperti PT Medco Energi Natuna Timur dan KUFPEC Indonesia (Anambas) B.V. Semua berada di bawah pengawasan SKK Migas, memastikan produksi migas berjalan efisien dan berkelanjutan.
Ia menyebutkan, produksi dari blok-blok aktif di kawasan ini telah memberi kontribusi nyata terhadap pasokan energi nasional. Selain menjaga stabilitas pasokan, kegiatan produksi turut mendorong investasi dan aktivitas ekonomi di wilayah perbatasan.
Secara keseluruhan, lanjut Yanin, total produksi minyak dari wilayah kerja aktif di Kepri tahun 2025 menunjukkan kontribusi yang stabil terhadap nasional, dengan fokus utama pada keberlanjutan operasi di Laut Natuna yang memiliki potensi gas besar.
“Data ini mencerminkan pentingnya peran Natuna sebagai salah satu pusat produksi gas strategis di Indonesia,” ujarnya.
Namun, peran industri hulu migas di Natuna tidak berhenti pada produksi energi semata. Di daratan, aktivitas itu menghadirkan efek berantai, menghidupkan ekonomi lokal, dan membuka peluang usaha bagi masyarakat.
Yanin menegaskan, SKK Migas bersama KKKS berkomitmen memastikan manfaat industri hulu migas dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat di wilayah perbatasan seperti Natuna dan Anambas. Melalui program local content dan community development, perusahaan diwajibkan memprioritaskan tenaga kerja, penyedia barang, dan jasa dari wilayah setempat sejauh memenuhi kualifikasi.
Selain itu, program pengembangan masyarakat difokuskan pada peningkatan kapasitas ekonomi lokal agar masyarakat mampu mandiri. Pendekatan kolaboratif juga dilakukan bersama pemerintah daerah untuk menyinergikan kegiatan CSR dengan program pembangunan daerah.
Meski begitu, tantangan tetap mengintai. Pengembangan lapangan laut dalam seperti di Kepulauan Riau membutuhkan teknologi tinggi dan investasi besar. Harga energi global yang fluktuatif, infrastruktur terbatas, serta regulasi fiskal menjadi faktor penentu keekonomian proyek.
Namun, dengan dukungan kebijakan pemerintah yang adaptif dan penerapan teknologi baru seperti subsea system dan CO₂ handling, pengembangan migas laut dalam di kawasan ini tetap memiliki prospek yang menjanjikan dalam jangka menengah hingga panjang.
“Dengan cadangan migas yang sangat besar, kawasan ini menjadi salah satu tumpuan utama dalam penyediaan pasokan energi jangka panjang bagi Indonesia,” pungkas Yanin.
Dari laut biru perbatasan, Natuna memberi lebih dari sekedar energi. Ia mengirimkan keyakinan bahwa dari ujung negeri pun, Indonesia bisa berdiri mandiri.*
*Penulis: ALFIANA




















