Natuna, mandalapos.co.id — Di sudut rumah kayu sederhana di Desa Kelarik Air Mali, Kecamatan Bunguran Utara, Kabupaten Natuna, seorang nelayan bernama Saleh Iskandar duduk bersama putrinya, Shelda, yang masih duduk di bangku SD. Di balik senyum polos sang anak, terselip kegelisahan yang terpancar dari wajah sang ayah.
Pekerjaan sebagai nelayan yang ia jalani selama ini, kini tak lagi menjanjikan. Laut yang dulu jadi sumber penghidupan, kini seolah menenggelamkan harapan.
“Biasanya ada kapal dari Hongkong yang beli ikan kerapu kami. Tapi sekarang kapal itu sudah lama tidak datang,” ujar Saleh, Rabu (9/7/2025).
Akibat sulitnya perekonomian orang tua, Shelda dan kakaknya Sela yang kini duduk di kelas 3 SMP, terpaksa harus berlapang dada perlengkapan sekolah mereka belum juga terpenuhi.
Istri Saleh, Erlina, mengaku beban hidup semakin berat. Kenaikan harga sembako dan kebutuhan pokok lainnya tak sebanding dengan pendapatan suaminya yang makin tak menentu.
“Kerja makin susah, harga makin naik. Mau beli beras saja susah, apalagi perlengkapan sekolah,” katanya lirih.
Saleh tak sendiri. Nasib serupa juga dialami nelayan lain di Natuna. Ketergantungan terhadap kapal pembeli asing, terutama dari Hongkong, membuat banyak nelayan kini terjebak dalam krisis ekonomi.
Ia berharap pemerintah daerah, termasuk DPRD, tidak menutup mata atas kondisi ini.
“Kalau kapal asing tak bisa lagi masuk, ya pemerintah harus cari solusi. Mungkin dengan membeli hasil tangkapan nelayan sendiri, atau buka lapangan kerja buat kami. Jangan biarkan kami tenggelam pelan-pelan,” harapnya.
Kisah Saleh dan keluarganya menjadi cermin dari wajah nelayan Natuna hari ini, bertahan dalam sunyi, berharap dalam sepi. Di balik senyum anak-anak mereka, tersimpan tanya besar, adakah yang mendengar?. *
*Alfian