Hutang Daerah Dibayar Sesuka Hati, Disebut Atas Instruksi Bupati Cen Sui Lan

0
62
Ilustrasi bayar hutang

Natuna, mandalapos.co.id — Pembayaran hutang belanja modal barang dan jasa tahun 2024 di Sekretariat DPRD Natuna diduga tidak mengacu pada rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Kepri. Hutang yang seharusnya dibayar sesuai surat pesanan (SP), justru dibayarkan secara sepihak dengan pola cicilan per-item, bukan per-SP.

Lebih miris, kebijakan ini disebut datang langsung dari Bupati Natuna, Cen Sui Lan. Perintah membayar dengan skema “pukul rata” tanpa melihat dokumen SP itu diakui Kabag Umum Sekretariat DPRD Natuna, Heru Chandra.

“Pas pertama jumpa ibu bupati, kami disuruh bayar 4 juta minimal. Jadi Pak Kaban BPKPD bilang, saya telpon Ardi Kabid dulu gimana pengentriannya. Kata Ardi kalau mau bayar segitu, nanti disebutkan dibayarkan angsuran utang SP nomor sekian sebesar 4 juta. Di ruang bupati diperintahkan cair 4 juta,” ungkap Heru, Senin (25/8/2025).

Kebijakan sepihak ini dinilai mengabaikan mekanisme hukum. Inspektur Pembantu IV Inspektorat Daerah Natuna, Ulfitra, menegaskan pembayaran hutang barang dan jasa wajib mengacu pada SP yang diakui BPK.

“Pesanan yang dipesan itulah yang harus dibayar. Kalau itu sudah diakui sebagai hutang oleh BPK, maka harus dibayarkan. Karena pengakuan hutang itu sudah jelas,” tegasnya.

Ulfitra menambahkan, hutang yang diakui BPK termasuk kategori jangka pendek dan wajib dilunasi dalam tahun berjalan. Tidak ada dasar hukum untuk menerbitkan SP baru, apalagi mengutak-atik nilai SP lama.

“Kalau sudah ada berita acara, serah terima, dan pengakuan hutang, tinggal dibayarkan saja. SP itu mengikat. Kalau di dalam SP tertulis pembayaran bertahap, maka bisa jadi dasar mencicil. Tapi kalau tidak ada klausulnya, timbul pertanyaan,” jelasnya.

Kebijakan yang ditempuh Bupati Cen Sui Lan berpotensi menabrak sejumlah aturan, mulai dari UU No.1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, PP No.12/2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, hingga Permendagri No.77/2020. Semuanya menegaskan bahwa kewajiban pemerintah daerah harus dibayar sesuai dokumen perikatan.

Praktik “cicil ala koboy” ini dikhawatirkan memperburuk integritas pengelolaan keuangan daerah. Bahkan, jika terus dilanjutkan, Natuna berisiko kembali mendapat catatan merah dari BPK pada tahun anggaran berikutnya.

**Alfian

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini